Jumat, 06 Februari 2009

KAJIAN EKONOMI SYARI'AH

PRINSIP OPERASIONAL BANK SYARI'AH

Pendahuluan
Berdirinya bank Islam/perbankan syari’ah diawali dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern: neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan ini adalah sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Hingga awal ke-20, bank Islam hanya merupakan obsesi dan diskusi teoritis para akademisi baik dari bidang hukum (fikih) maupun bidang ekonomi. Kesadaran bahwa bank Islam adalah solusi masalah ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial telah muncul, namun upaya nyata yang memungkinkan implementasi praktis gagasan tersebut nyaris tenggelam dalam sistem ekonomi dunia yang menggunakan bunga riba.

Dalam tulisan ini akan dibahas secara garis besar mengenai perbankan Islam terutama di Indonesia, meliputi sejarah, serta konsep-konsep dasar operasional bank syari'ah.


Sejarah dan Perkembangan Bank Islam

Beroperasinya Mit Ghamr Local Saving Bank di Mesir pada tahun 1963 merupakan tonggak sejarah perkembangkan sistem perbankan Islam. Mit Ghamr menyediakan pelayanan dasar perbankan seperti simpanan, pinjaman, penyertaan modal, investasi langsung dan pelayanan sosial. Pada tahun 1967 pengoperasian Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir disebabkan adanya kekacauan politik. Walaupun Mit Ghamr sudah berhenti beroperasi sebelum mencapai kematangan dan menyentuh semua profesi bisnis, keberadaannya telah memberikan pertanda bagi masyarakat muslim bahwa prinsip-prinsip Islam sangat applicable dalam dunia bisnis modern.

Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Islamic Develoment Bank (IDB), yang berdiri atas prakarsa dari sidang menteri luar negeri Negara-negara OKI di Pakistan (1970), Libiya (1973), dan Jeddah (1975). Dalam sidang tersebut diusulkan penghapusan sistem keuangan berdasarkan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negeri Islam untuk mendirikan untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah. Pada akhir priode 1970-an dan awal periode 1980-an bank-bank syari’ah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki.

Dari berbagai laporan tentang bank Islam, ternyata bahwa operasi perbankan Islam dikendalikan oleh tiga prinsip dasar, yaitu (a) dihapuskannya bunga dalam segala bentuk transaksi, (b) dilakukannya segala bisnis yang sah, berdasarkan hukum serta perdagangan komersial dan perusahaan industri, dan (c) memberikan pelayanan sosial yang tercermin dalam penggunaan dana-dana zakat untuk kesejahteraan fakir miskin.[1]

Berkembangnya bank-bank syari’ah di Negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an telah banyak diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam, akan tetapi prakarsa untuk mendirikan bank Islam baru dimulai pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan lokakarya tentang bunga bank dan perbankan menghasilkan terbentuknya sebuah tim perbankan yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi. Pada tahun 1991 berdiri PT. BMI (Bank Muamalat Indonesia).

Pada awal pendirian BMI keberadaan bank syari’ah belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional, disebabkan landasan hukum operasional bank yang menggunakan sistem syari’ah ini hanya dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil, dan tidak terdapat rincian landasan hukum syari’ah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.

Pada era reformasi perkembangan perbankan syari’ah ditandai dengan disetujuinya Undang-undang No.10 tahun 1998, yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplemen-tasikan oleh bank syari’ah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank konvensional untuk membuka cabang syari’ah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syari’ah.




Perbedaan Bank Syari’ah Dengan Bank Konvensional

Dalam beberapa hal, bank syari’ah dan bank konvensional memiliki persamaan terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pem-biayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan lain-lain. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya yaitu menyangkut aspek legal, stuktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.

1. Akad dan aspek legalitas

Dalam bank syari’ah, akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sehingga pelanggaran kesepakatan dapat diminimalisir. Selain itu akad dalam perbankan syari’ah baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun keten-tuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, baik rukun maupun syaratnya.

2. Lembaga penyelesaian sengketa

Dalam perbankan syari’ah, apabila terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabah, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di pengadilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai dengan tatacara dan hukum materi syari’ah. Hukum yang mengatur ini disebut BAMUI yang didirikan bersama antara MUI dan Kejaksaan Agung.

3. Stuktur organisasi

Dalam stuktur organisasi bank syari’ah memiliki kesamaan dengan bank konvensional, seperti komisaris maupun direksi. Tetapi unsur yang dapat membedakan antara bank syari’ah dan konvensional adalah adanya pengawas syari’ah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produk agar sesuai dengan garis-garis syari’ah dan DPS biasanya diletakkan pada posisi setingkat dewan komisaris pada setiap bank.

Banyaknya DPS pada bank perlu disyukuri, akan tetapi perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya fatwa yang berbeda di masing-masing DPS, maka MUI sebagai payung dari lembaga organisasi keislaman di Indonesia perlu membentuk dewan syari’ah secara nasional yang membawahi lembaga-lembaga keuangan termasuk di dalamnya bank-bank syari’ah. Lembaga ini biasa disebut Dewan Syari’ah Nasional (DSN), yang berfungsi mengawasi produk-produk keuangan syari’ah agar sesuai dengan syariat Islam (meneliti dan memberi fatwa bagi produk yang dikembangkan). DSN juga bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai DSN pada satu lembaga keuangan. Selain itu DSN juga dapat memberikan teguran dan mengusulkan kepada otoritas yang berwenang untuk memberikan sanksi kepada bank yang melakukan dan mengembangkan tidak sesuai syari’ah.

4. Bisnis dan usaha yang dibiayai

Dalam bank syari’ah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan harus sesuai dengan syari’ah. Karena itu, bank syari’ah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung dalam hal-hal yang diharamkan.

5. Lingkungan kerja dan corporate culture

Dalam bank syari’ah haruslah memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syar’ah. Dalam hal etika misalnya sifat amanah, shiddiq harus melandasi setiap karyawan, sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Begitu pula karyawan bank harus skillful dan profesional (fathanah) dan mampu melakukan tugas secara teamwork dimana informasi merata di semua fungsional organisasi (tabligh) begitu pula dalam hal reward dan punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syari’ah.




Konsep dan Operasional Bank syari'ah
1. Sumber Dana Bank Syari’ah

Bank sebagai suatu lembaga keuangan yang salah satu fungsinya adalah menghimpun dana masyarakat, harus memiliki suatu sumber penghimpunan dana sebelum disalurkan ke masyarakat kembali. Dalam bank syari’ah, sumber dana berasal dari modal inti (core capital) dan dana pihak ketiga[2], yang terdiri dari dana titipan (wadi’ah) dan kuasi ekuitas (mudarabah account).

Modal inti adalah modal yang berasal dari para pemilik bank, yang terdiri dari modal yang disetor oleh para pemegang saham, cadangan dan laba ditahan. Modal yang disetor hanya akan ada apabila pemilik menyertakan dananya pada bank melalui pembelian saham, dan untuk penambahan dana berikutnya dapat dilakukan oleh bank dengan mengeluarkan dan menjual tambahan saham baru. Cadangan adalah sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya risiko kerugian di kemudian hari. Sedangkan laba ditahan adalah sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui RUPS) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank.[3] Modal inti inilah yang berfungsi sebagai penyangga dan penyerap kegagalan atau kerugian bank dan melindungi kepen-tingan para pemegang rekening titipan (wadi’ah) atau pinjaman (qard).

Sebagaimana halnya dengan bank konvensional, bank syari'ah juga mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus unit) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana (deficit unit). Melalui bank, kelebihan dana-dana tersebut akan disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak. Dana pihak ketiga tersebut terdiri dari :

a. Titipan/wadi’ah, yaitu dana titipan masyarakat yang dikelola oleh bank.

b. Investasi/mudarabah, adalah dana masyarakat yang diinvestasikan.



2. Aqad-akad Bank Syari’ah

Bank syari’ah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dan menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara pemilik dana (shahibul mal) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana (mudarib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha. Pengelolaan dana tersebut didasarkan pada aqad-aqad yang disesuaikan dengan kaidah muamalat. Dari segi ada atau tidaknya kompensasi, fiqh muamalat membagi aqad menjadi dua bagian, yaitu aqad tabarru' dan aqad tijaroh.[4]

Aqad tabarru', yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Aqad tabarru' dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekedar menutup biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan aqad tabarru' tersebut. Tetapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari aqad tabarru' itu. Contoh aqad tabarru' adalah:

- Qard, pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.

- Wadi’ah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.

- Wakalah, aqad pemberian kuasa (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa.

- Kafalah, jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafl) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.

- Rahn, menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara?sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil atau ia bisa mengambil sebagian manfaat barang itu.

- Dhaman, menggabungkan dua beban (tanggungan) untuk membayar hutang, menggadaikan barang atau menghadirkan orang pada tempat yang telah ditentukan.

- Hiwalah, aqad yang mengharuskan pemindahan hutang dari yang ber-tanggung jawab kepada penanggung jawab yang lain.



Berbeda dengan aqad tabarru', maka aqad tijaroh (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Aqad-aqad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh aqad tijaroh antara lain:

- Murabahah, adalah jual-beli barang dengan harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Penjual harus memberitahu harga produk yang dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.

- Salam, pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sementara pem-bayaran dilakukan di muka.

- Istisna?/SPAN>, kontrak penjualan antara mustashni?/I> (pembeli akhir) dan shani?/I> (supplier). Pembelian dengan pesanan.

- Ijaroh, aqad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayar-an upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/ milkiyyah) atas barang itu sendiri.

- Musyarakah, aqad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

- Muzara’ah, adalah bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian setahun.

- Musaqah, adalah bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian tahunan.

- Mukhabarah, adalah muzara’ah tetapi bibitnya berasal dari pemilik tanah.




3. Prinsip-prinsip Operasional
Secara umum, setiap bank Islam dalam menjalankan usahanya minimal mempunyai lima prinsip operasional, yaitu[5]:

a. Prinsip simpanan giro, merupakan fasilitas yang diberikan oleh bank untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan danaya dalam bentuk al wadiah, yang diberikan untuk tujuan keamanan dan pemindahbukuan, bukan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan atau deposito.

b. Prinsip bagi hasil, meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara pemilik dana (shahibul mal) dan pengelola dana (mudarib). Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Prinsip ini dapat digunakan sebagai dasar untuk produksi pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan.

c. Prinsip jual-beli dan mark-up, merupakan pembiayaan bank yang diperhitungkan secara lump-sum dalam bentuk nominal di atas nilai kredit yang diterima nasabah penerima kredit dari bank. Biaya bank tersebut ditetapkan sesuai dengan kesepakatan antara bank dengan nasabah.

d. Prinsip sewa, terdiri dari dua macam, yaitu sewa murni (operating lease/ijaroh) dan sewa beli (financial lease/bai' al ta’jir).

e. Prinsip jasa (fee), meliputi seluruh kekayaan non-pembiayaan yang diberikan bank, seperti kliring, inkaso, transfer dan sebagainya.




4. Produk Bank Syari'ah

Pada sistem operasi bank syari'ah, pemilik dana menanamkan uangnya di bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan (misalnya modal usaha), dengan perjanjian pem-bagian keuntungan sesuai kesepakatan.[6]
Pembiayaan dalam perbankan syari'ah tidak bersifat menjual uang yang mengandalkan pendapatan bunga atas pokok pinjaman yang diinvestasikan, tapi dari pembagian laba yang diperoleh pengusaha. Pendekatan bank syari'ah mirip dengan investment banking, dimana secara garis besar produk mudarabah (trust financing) dan musyarakah (partnership financing), sedangkan yang bersifat investasi diimplementasikan dalam bentuk murabahah (jual-beli)[7].

Pola konsumsi dan pola simpanan yang diajarkan oleh Islam memungkin-kan umat Islam mempunyai kelebihan pendapatan yang harus diproduktifkan dalam bentuk investasi, maka bank Islam menawarkan tabungan investasi yang disebut simpanan mudarabah (simpanan bagi hasil atas usaha bank). Untuk dapat membagihasilkan usaha bank kepada penyimpan mudarabah, maka bank syari'ah menawarkan jasa-jasa perbankan kepada masyarakat dalam bentuk[8]:

1. Pembiayaan untuk berbagai kegiatan investasi atas dasar bagi hasil yang terdiri dari (a) pembiayaan investasi bagi hasil al mudarabah dan (b) pembiayaan investasi bagi hasil al musyarakah. Dari pembiayaan investasi tersebut bank akan memperoleh pendapatan berupa bagi hasil usaha.

2. Pembiayaan untuk berbagai kegiatan perdagangan yang terdiri dari (a) pembiayaan perdagangan al-mudarabah dan (b) pembiayaan perdagangan al-baiu bithaman ajil. Dari pembiayan perdagangan tersebut bank akan memperoleh pendapatan berupa mark-up atau margin keuntungan.

3. Pembiayan pengadaan barang untuk disewakan atau untuk disewabelikan dalam bentuk (a) sewa guna usaha atau disebut al-ijarah (b) sewa beli atau disebut baiu takjiri. Di Indonesia, al ijaroh dan al baiu takjiri tidak dapat dilakukan oleh bank. Namun demikian penyewaan fasilitas tempat penyim-panan harta dapat dikategorikan sebagai al-ijaroh. Dari kegiatan usaha al-ijaroh, bank akan memperoleh pendapatan berupa sewa.

4. Pemberian pinjaman tunai untuk kebajikan (al-qardhul hasan) tanpa dikenakan biaya apapun kecuali biaya administrasi berupa segala biaya yang diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang, seperti bea materai, bea akte notaris, bea studi kelayakan, dan sebagainya. Dari pemberian pinjaman al-qardhul hasan, bank akan menerima kembali biaya-biaya administrasi.

5. Fasilitas-fasilitas perbankan umumnya yang tidak bertentangan dengan syari'ah seperti penitipan dana dalam rekening lancar (current account), dalam bentuk giro wadi’ah yang diberi bonus dan jasa lainnya untuk mem-peroleh balas jasa (fee) seperti: pemberian jaminan (al-kafalah), pengalihan tagihan (al-hiwalah), pelayanan khusus (al-jualah), pembukaan L/C (al-wakalah), dan lain-lain. Dari pemakaian fasilitas-fasilitas tersebut bank akan memperoleh pendapatan berupa fee.

Dalam bentuk praktik di lapangan, di samping menyedikan modal yang dibutuhkan masyarakat kecil untuk membeli barang-barang modal (alat kerja), modal kerja operasional dan faktor lain yang dibutuhkan untuk membangun satu unit bisnis kecil. Bank syari'ah idealnya juga harus memberikan pendampingan manajerial, seperti aspek pemasaran keuangan dan produksi bahkan sampai mem-fasilitasi jaringan pemasaran (tata niaga) yang lebih efisien yang menguntungkan usaha kecil dan menengah. Dengan demikian, bank syari'ah menjadi partner usaha dalam lingkup yang lebih luas dan terintegrasi.
Konsep ideal perbankan yang sesuai dengan syari'ah Islam seperti yang diuraikan di atas pada praktiknya belum diselenggarakan secara ideal pula oleh bank-bank Islam di Indonesia. Menurut Zainul Arifin, beberapa praktik perbankan syari'ah yang masih jauh dari konsep ideal bank syari'ah adalah sebagai berikut[9]:

1. Terlalu memusatkan pada mekanisme murabahah dan mengabaikan mekanisme pembiayaan sah lainnya.

2. Menerapkan tingkat bunga untuk margin keuntungan tetap dalam mekanisme murabahah.

3. Mengabaikan aspek-aspek sosial dalam pembiayaan.

4. Kurang memberi respons tambah pada kebutuhan-kebutuhan pembiayaan pemerintah.

5. Kegagalan bank-bank Islam dalam menjalin kerjasama antara di mereka.

Kesimpulan

Sistem keuangan atau yang lebih khusus lagi adalah aturan yang menyangkut aspek keuangan dalam sistem perbankan di negara-negara sedang berkembang telah menjadi instrumen penting dalam melancarkan kegiatan pem-bangunan. Keberadaannya dalam berbagai aspek usaha masyarakat luas telah memberikan pertanda bahwa prinsip-prinsip Islam sangat applicable dalam dunia bisnis modern. Namun demikian, implementasi perbankan syari'ah terkadang masih mengalami kendala, baik dari lembaga itu sendiri, maupun dari pemerintah masyarakat. Untuk itu diperlukan kesungguhan dari berbagai pihak untuk memperbaiki kekurangan yang ada menuju sistem perbankan syari'ah yang rahmatan lil alamin.

[1] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, hlm. 203.

[2] Tim Pengembangan Perbankan Syari'ah, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, hlm. 57.

[3] Muhammad, Manajemen Bank Syari'ah, hlm. 233.

[4] Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, hlm 58.

[5] Achmad Baraba, Memahami Lembaga Keuangan Syari'ah, Makalah Kursiloka Ekonomi Islam, Yogyakarta, 18-21 Agustus 1997, hlm. 12

[6] Muhammad, Manajemen Bank Syari'ah, hlm 86.

[7] KH. Ali Yafie, dkk., Fiqih Perdagangan Bebas, hlm.220.

[8] Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, hlm. 15.

[9] Zainul Arifin, hlm. 13

TRANSAKSI BISNIS E-COMMERSI PERSPEKTIF ISLAM

Pendahuluan
Dengan teknologi yang semakin canggih pada tiap-tiap bidang kehidupan manusia sekarang, segala usaha dan kegiatan manusia akan semakin terasa mudah, jika dibandingkan ketika teknologi yang digunakan hanya mengandalkan faktor keramahan alam. Melalui teknologi tersebut apa yang dulunya tidak mungkin, kini dapat terjadi dengan logis, seperti manusia sekarang dapat terbang, masuk ke dasar laut yang terdalam sekalipun, atau dapat menghancurkan suatu kota dengan hanya hitungan menit,[1] yang notabene menjadi tantangan agama untuk menjelaskan atau menjawab semua fenomena peradaban manusia tersebut.

Perkembangan teknologi elektronik yang berlangsung sangat pesat akhir-akhir ini telah mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan dan kegiatan masyarakat. Canggihnya teknologi modern saat ini dan terbukanya jaringan informasi global yang serba transparan, yang menurut Toffler[2] adalah gejala masyarakat gelombang ketiga, telah ditandai dengan munculnya internet,[3] yakni sebuah teknologi yang memungkinkan adanya transformasi secara cepat ke seluruh jaringan dunia melalui dunia maya. Dengan teknologi internet, human action (perilaku manusia), human interaction (interaksi antar manusia), human relation (hubungan kemanusiaan) mengalami perubahan yang cukup signifikan. Jaringan komunikasi global telah menciptakan tantangan-tantangan terhadap cara pengaturan transaksi-transaksi sosial dan ekonomi.

Internet yang merupakan implementasi Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP) telah memberikan kemudahan dalam berkomunikasi secara global tanpa batasan geografis antar negara.[4] Internet merupakan suatu penemuan yang pada awalnya berfungsi sebagai alat pertukaran data ilmiah dan akademik, kini telah berubah menjadi perlengkapan hidup sehari-hari dan dapat diakses dari berbagai belahan dunia.[5] Teknologi internet mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perekonomian dunia. Internet membawa perekonomian dunia memasuki babak baru yang lebih populer dengan istilah digital economics atau ekonomi digital.[6] Keberadaannya ditandai dengan semakin maraknya kegiatan perekonomian yang memanfaatkan internet sebagai media komunikasi, kolaborasi, dan kooperasi. Perdagangan misalnya, semakin banyak mengandalkan perdagangan elektronik/electronic commerce (e-commerce) sebagai media transaksi, dan diperkirakan, lebih dari 95 persen dari seluruh kegiatan di internet merupakan kegiatan perdagangan.[7]

Perkembangan e-commerce tidak terlepas dari laju pertumbuhan internet karena e-commerce berjalan di atas jaringan internet.[8] Pertumbuhan pengguna internet yang sangat pesat merupakan suatu kenyataan yang membuat internet menjadi salah satu media yang efektif bagi perusahaan maupun perorangan untuk memperkenalkan dan menjual produk/jasa mereka ke calon konsumen dari seluruh dunia. Untuk negara Asia, pengguna jasa internet pada tahun 1999 berjumlah 66 juta, dengan Jepang sebagai pengguna terbesar yakni sebanyak 20 juta. The Boston Consulting Group memperkirakan pada tahun 2005 jumlahnya akan menjadi 375 juta dengan Tiongkok sebagai pengguna jasa internet terbesar.[9] Hadirnya e-commerce memungkinkan terciptanya persaingan yang sehat antara perusahaan kecil, menengah dan besar dalam merebut pangsa pasar.

Sebagai suatu perdagangan yang berbasis teknologi canggih, e-commerce telah mereformasi perdagangan konvensional di mana interaksi antara konsumen dan perusahaan yang sebelumnya dilakukan secara langsung menjadi interaksi yang tidak langsung.[10] E-commerce telah merubah paradigma bisnis klasik dengan menumbuhkan model-model interaksi antara produsen dan konsumen di dunia virtual. Prinsip perdagangan dengan sistem pembayaran klasik yang kita kenal adalah perdagangan di mana penjual dan pembeli bertemu secara fisik atau secara langsung kini berubah menjadi konsep telemarketing yakni perdagangan jarak jauh dengan menggunakan media internet yang tidak lagi membutuhkan pertemuan antar para pelaku bisnis. Sistem perdagangan yang dipakai dalam e-commerce dirancang untuk menandatangani secara elektronik. Penandatanganan elektronik ini dibuat mulai dari saat pembelian, pemeriksaan dan pengiriman.[11] Karena itu, ketersediaan informasi yang benar dan akurat mengenai konsumen dan perusahaan dalam e-commerce merupakan suatu prasyarat mutlak.

Perkembangan teknologi informasi, sadar atau tidak telah memberikan dampak terhadap perkembangan hukum, ekonomi, sosial, budaya dan politik. Hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi pada awal abad ke 21. Khususnya di bidang perekonomian, perkembangan teknologi informasi telah melahirkan model transaksi baru dalam dunia perdagangan.

E-Commerce: Ruang Lingkup dan Proses Bisnis

E-commerce seringkali diartikan sebagai jual beli barang dan jasa melalui media elektronik, khususnya melalui internet. Salah satu contoh adalah penjualan produk secara online melalui internet seperti yang dilakukan WebStore Kompas Cyber Media. Dalam bisnis ini, dukungan dan pelayanan terhadap konsumen menggunakan e-mail sebagai alat bantu, mengirimkan kontrak melalui mail dan sebagainya. Sebenarnya ada banyak definisi mengenai e-commerce. Tetapi yang pasti, setiap kali masyarakat berbicara tentang e-commerce, mereka biasanya memahaminya sebagai bisnis yang berhubungan dengan internet.[12]

Dari berbagai definisi yang ditawarkan dan dipergunakan oleh berbagai kalangan,[13] terdapat kesamaan dari setiap definisi tersebut. Kesamaan ini menunjukkan bahwa e-commerce memiliki karakteristik: 1) Terjadinya transaksi antara dua belah pihak; 2) Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi; dan 3) Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme perdagangan tersebut. Dari karakteristik tersebut terlihat jelas bahwa pada dasarnya e-commerce merupakan dampak dari perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi. Secara signifikan mengubah cara manusia melakukan interaksi dengan lingkungannya, yang dalam hal ini terkait dengan mekanisme dagang.

E-commerce sebagai suatu cara untuk melakukan aktivitas perekonomian dengan infrastruktur internet memiliki jangkauan penerapan yang sangat luas. Seperti halnya internet, siapapun dapat melakukan aktivitas apapun termasuk aktivitas ekonomi, e-commerce juga memiliki segmentasi penerapan yang luas. Secara garis besar, e-commerce diterapkan untuk melaksanakan aktivitas ekonomi business-to-business, business-to-consumer, dan consumer-to-consumer.[14]

Ada dua hal utama yang biasa dilakukan oleh customers di dunia maya.[15] Pertama adalah melihat produk-produk atau jasa-jasa yang diiklankan oleh perusahaan terkait melalui website-nya (online ads). Kedua adalah mencari data atau informasi tertentu yang dibutuhkan sehubungan dengan proses transaksi jual beli yang akan dilakukan.[16]

Jika tertarik dengan produk atau jasa yang ditawarkan, konsumen dapat melakukan transaksi perdagangan dengan cara melakukan pemesanan secara elektronik (online orders), yaitu dengan menggunakan perangkat komputer dan jaringan internet. Berdasarkan pesanan tersebut, merchant akan mendistribusikan barangnya kepada customer melalui dua jalur. Bagi perusahaan yang melibatkan barang secara fisik, perusahaan akan mengirimkannya melalui kurir ke tempat pemesan berada. Jalur kedua adalah jalur yang menarik karena disediakan bagi produk atau jasa yang dapat digitalisasi (diubah menjadi sinyal digital). Produk-produk yang semacam teks, gambar, video dan audio secara fisik tidak perlu lagi dikirimkan, namun dapat disampaikan melalui jalur internet, contohnya electronic newspapers, digital library, virtual school dan sebagainya.

Selanjutnya, melalui internet dapat pula dilakukan aktivitas pasca pembelian, yaitu pelayanan purnajual (electronic customer support). Proses ini dapat dilakukan melalui jalur konvensional, seperti telepon, ataupun jalur internet, seperti e-mail, teleconference, chatting, dan lain-lain. Dari interaksi tersebut diharapkan customers dapat datang kembali dan melakukan pembelian produk atau jasa di kemudian hari (follow-on sales).

Transaksi e-Commerce dan Transaksi as-Salam

Transaksi (akad) merupakan unsur penting dalam suatu perikatan. Dalam Islam persoalan transaksi sangat tegas dalam penerapannya, dan ini membuktikan bahwa keberadaan transaksi tidak boleh dikesampingkan begitu saja dalam setiap bidang kehidupan manusia (umat Islam), karena begitu pentingnya transaksi dalam suatu perjanjian.[17]

Secara umum dapat dilihat bahwa dalam perdagangan secara Islam menjelaskan adanya transaksi yang bersifat fisik, dengan menghadirkan benda tersebut sewaktu transaksi, atau tanpa menghadirkan benda yang dipesan, tetapi dengan ketentuan harus dinyatakan sifat benda secara konkret, baik diserahkan langsung atau diserahkan kemudian sampai batas waktu tertentu, seperti dalam transaksi as-salam dan transaksi al-istis}nâ‘. Transaksi as-salam merupakan bentuk transaksi dengan sistem pembayaran secara tunai/disegerakan tetapi penyerahan barang ditangguhkan. Sedang transaksi al-istis}nâ‘ merupakan bentuk transaksi dengan sistem pembayaran secara disegerakan atau secara ditangguhkan sesuai kesepakatan dan penyerahan barang ditangguhkan.[18]

Transaksi as-salam - disebut juga as-salaf - seperti halnya model transaksi jual beli lainnya, telah ada bahkan sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw.[19] Hal ini merupakan suatu bentuk keringanan dalam bermuamalah dan memberikan kemudahan kepada manusia dalam berinteraksi dengan sesama, khususnya pada masalah pertukaran harta, seperti halnya jual beli dengan hutang. Dalam transaksi as-salam tercermin adanya saling tolong menolong yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Pihak pembeli dapat membeli barang dengan harga lebih murah, begitu pula pihak penjual memperoleh keuntungan dari penerimaan uang lebih cepat dari penyerahan barang. Dengan pembayaran itu berarti didapat tambahan modal yang berguna untuk mengelola dan mengembangkan usahanya.[20]

Transaksi as-salam dibolehkan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Ibn ‘Abbâs berkata: "Saya bersaksi bahwa salaf yang dijamin untuk waktu tertentu, telah dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan diijinkan-Nya".[21] Kemudian dia membaca firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ...."[22] Ketika Rasulullah Saw tiba di Madinah, orang-orang sudah biasa melakukan pembayaran lebih dahulu (salaf) buat buah-buahan untuk jangka waktu setahun atau dua tahun. Kemudian beliau bersabda: "Barangsiapa yang melakukan salaf, hendaklah melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai batas waktu tertentu."[23]

Pelaksanaan transaksi bisnis e-commerce, secara sekilas hampir serupa dengan transaksi as-salam dalam hal pembayaran dan penyerahan komoditi yang dijadikan sebagai obyek transaksi. Oleh karena itu, untuk menganalisis dengan jelas apakah transaksi dalam e-commerce melalui internet tersebut dapat disejajarkan dengan prinsip-prinsip transaksi yang ada dalam transaksi as-salam maka masing-masing dapat dicermati melalui pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, proses pernyataan kesepakatan transaksi dan melalui obyek transaksi.

Dalam transaksi e-commerce melalui internet perintah pembayaran (payment instruction) melibatkan beberapa pihak selain dari pembeli (cardholder) dan penjual (merchant).[24] Para pihak itu adalah payment gateway, acquirer dan issuer. Dalam transaksi online merupakan suatu keharusan adanya pihak-pihak lain yang terlibat. Karena transaksi e-commerce melalui media internet merupakan bentuk transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang dalam bertransaksi tidak saling bertemu face-to-face atau bahkan tidak saling mengenal, sebab mereka bertransaksi dalam dunia maya atau virtual. Oleh karena itu, untuk menjamin adanya kehandalan, kepercayaan, kerahasiaan, validitas dan keamanan, transaksi e-commerce dalam pelaksanaannya memerlukan layanan-layanan pendukung.

Dalam hal ini payment gateway dapat dianggap seperti saksi dalam transaksi yang melakukan otorisasi terhadap instruksi pembayaran dan memonitor proses transaksi online. Payment gateway ini diperlukan oleh acquirer untuk mendukung berlangsungnya proses otorisasi dan memonitor proses transaksi yang berlangsung. Payment gateway biasanya dioperasikan oleh acquirer atau bisa juga oleh pihak ketiga lain yang berfungsi untuk memproses instruksi pembayaran. Payment gateway dalam hal ini telah memperoleh sertifikat digital yang dikeluarkan dan dikelola oleh pihak ketiga yang terpercaya, yang dikenal dengan nama Certification Authority (CA), seperti VeriSign, Mountain View, Thawte, i-Trust dan sebagainya. Sertifikat digital ini dimiliki sebagai tanda bukti bahwa dia memiliki hak atau izin atas pelayanan transaksi elektronik.

Selain payment gateway, adanya acquirer dan issuer juga merupakan suatu keharusan. Acquirer adalah sebuah institusi finansial dalam hal ini bank yang dipercaya oleh merchant untuk memproses dan menerima pembayaran secara online dari pihak consumer. Dan issuer merupakan suatu institusi finansial atau bank yang mengeluarkan kartu bank (kartu kredit maupun kartu debit) yang dipercaya oleh consumer untuk melakukan pembayaran dalam transaksi online. Masing-masing dari acquirer dan issuer merupakan wakil dari merchant dan consumer dalam melakukan pembayaran secara online.

Pada transaksi as-salam keberadaan saksi dan wakil bukan suatu keharusan tapi apabila diperlukan hal itu tidak akan merusak atau membatalkan transaksi, bahkan untuk keberadaan saksi sangat dianjurkan[25] dalam transaksi as-salam. Karena dikhawatirkan adanya perselisihan dikemudian hari, baik disengaja oleh salah satu pihak maupun karena lupa. Dan juga setiap transaksi akan selalu terkait dengan keadaan dan kondisi yang melingkupinya. Pada transaksi yang dilakukan dalam bentuk yang lebih formal terikat dan mengandung risiko tinggi, demi kemaslahatan (kebaikan) diantara pihak-pihak yang terlibat sangat dianjurkan adanya administrasi dan saksi apabila melakukan suatu transaksi.

Dalam melakukan transaksi, consumer diminta untuk mengisi informasi pembayaran (yang biasanya disertai dengan memasukkan kode rahasia) pada form slip pembelian yang telah disediakan website merchant yang kemudian dilakukan otorisasi melalui payment gateway. Dari otorisasi tersebut dapat diketahui bahwa ia benar-benar pemilik yang sah dan berwenang menggunakannya. Pada pihak penjual, merchant memiliki sertifikat digital dari CA yang menjamin identitas pihak tersebut bahwa ia benar-benar ada dan memiliki wewenang untuk melakukan transaksi online. Dan yang paling penting dalam melaksanakan transaksi online adalah kedua pihak harus mengerti (paling tidak mengetahui) tentang pengoperasian komputer dan internet, dan hal ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kecakapan yang sempurna, seperti dilakukan oleh anak-anak yang belum berakal atau orang gila. Seperti halnya dalam transaksi as-salam, masing-masing pihak yang terlibat dalam transaksi harus memenuhi ketentuan-ketentuan untuk validitas transaksi itu sendiri. Pembeli dan penjual harus memenuhi ketentuan memiliki kecakapan yang sempurna dan mempunyai wewenang untuk melakukan transaksi.

Consumer dan merchant bertemu dalam dunia maya yaitu internet melalui server yang disewa dari ISP. Biasanya akan didahului oleh penawaran dari pihak merchant. Kemudian, melalui sebuah website yang dimiliki merchant, consumer dapat melihat daftar atau katalog barang yang dijual yang disertai dengan deskripsi produk yang dijual. Pernyataan kesepakatan dapat dilakukan melalui chatting, video conference, e-mail atau langsung melalui website merchant.[26]

Pernyataan kesepakatan dalam transaksi e-commerce pada prinsipnya sama dengan pernyataan kesepakatan pada transaksi as-salam. Namun, dalam transaksi online pernyataan kesepakatan dinyatakan melalui media elektronik dan internet. Meski pernyataan kesepakatan dilakukan dengan berbagai cara, yang terpenting adalah pernyataan dapat dipahami maksudnya oleh kedua pihak yang melakukan transaksi, sehingga dapat dijadikan manifestasi dari kerelaan kedua pihak. Dan sebelum pernyataan kesepakatan terjadi harus dilakukan berbagai pertimbangan yang berdasarkan informasi yang akurat dan dikelola secara baik dan benar, karena hal tersebut mengandung unsur risiko tinggi walaupun bisa diminimalisir dengan infrastruktur-infrastruktur pendukung yang ada.

Sesuatu yang dijadikan pembayaran/harga dalam transaksi e-commerce adalah uang yang telah diketahui jumlah dan mata uang yang digunakan. Uang yang dijadikan pembayaran/harga diserahkan melalui wakil/perantara dari masing-masing pihak yang bertransaksi yang dalam hal ini adalah issuer dan acquirer. Pembayaran segera dilakukan sesuai dengan jumlah dan mata uang yang telah disepakati setelah proses otorisasi berhasil dilaksanakan. Berbagai cara biasanya dilakukan oleh perusahaan maupun bank untuk membuktikan kepada consumer bahwa proses pembayaran telah dilakukan dengan baik, seperti pemberitahuan melalui e-mail, pengiriman dokumen elektronik melalui e-mail atau situs terkait yang berisi "berita acara" jual beli dan kuitansi pembelian yang merinci jenis produk atau jasa yang dibeli berikut detail mengenai metode pembayaran yang telah dilakukan atau pencatatan transaksi pembayaran oleh bank yang laporannya akan diberikan secara periodik pada akhir bulan. Harga dalam hal ini merupakan harta yang memiliki nilai dan manfaat menurut syara?bagi pihak-pihak yang mengadakan transaksi dan pembayaran dibayarkan segera/didahulukan serta dapat ditentukan dan diketahui oleh pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi sesuai dengan ketentuan dalam transaksi as-salam.

Mengenai komoditi yang dijadikan sebagai salah satu obyek transaksi dalam transaksi e-commerce dapat berupa apa saja (baik itu komoditi yang legal maupun illegal untuk diperdagangkan menurut Islam), tergantung pada penawaran pihak merchant. Hal ini disebabkan selama ini internet diasosiasikan sebagai media tanpa batas.[27] Dimensi ruang, birokrasi, waktu, kemapanan dan tembok struktural yang selama ini ada di dunia nyata dengan mudah ditembus oleh teknologi informasi. Oleh karena itu, disamping komoditi yang memang legal juga terdapat komoditi yang illegal menurut Islam untuk diperdagangkan, seperti minuman keras.[28] Hal ini tergantung kepada consumer sendiri dalam mencermati jenis komoditi apa dan bagaimana yang akan dibeli.

Sedang ketentuan dalam transaksi as-salam mengharuskan komoditi yang dijadikan sebagai obyek transaksi merupakan sesuatu yang legal diperdagangkan menurut Islam. Sejauh ini dapat dicermati bahwa apabila komoditi dalam e-commerce merupakan komoditi yang legal menurut Islam untuk diperdagangkan berarti telah sesuai dengan salah satu ketentuan dalam transaksi as-salam.

Adapun komoditi yang diperdagangkan dalam e-commerce dapat berupa komoditi digital dan komoditi non-digital. Untuk komoditi digital seperti electronic newspapers, e-books, digital library, virtual school, software program aplikasi komputer dan sebagainya, dapat langsung diserahkan melalui media internet kepada consumer, seperti dengan melakukan download terhadap produk tersebut. Berbeda halnya dengan komoditi non-digital, komoditi tidak dapat diserahkan langsung melalui media internet namun dikirimkan melalui jasa kurir sesuai dengan kesepakatan spesifikasi komoditi, waktu dan tempat penyerahan. Dengan demikian, apabila komoditi yang diperdagangkan merupakan komoditi digital maka tidak dapat dikategorikan/disamakan dengan transaksi as-salam. Karena dalam transaksi as-salam komoditi diserahkan kemudian/ditangguhkan penyerahannya. Sedang pada komoditi digital, komoditi diserahkan langsung kepada consumer melalui media internet dan diterima langsung pada waktu transaksi. Lain halnya pada komoditi non-digital, komoditi tidak dapat diserahkan langsung kepada consumer melalui internet tapi harus dikirimkan melalui jasa kurir yang dalam hal ini berarti penyerahan komoditi tidak diserahkan pada saat transaksi atau dengan kata lain komoditi ditangguhkan sampai pada batas waktu yang telah disepakati. Hal ini berarti bahwa untuk komoditi non-digital telah memenuhi salah satu ketentuan yang ada dalam transaksi as-salam, yaitu mengenai penangguhan penyerahan komoditi.

Sebelum melakukan pemesanan, dalam transaksi e-commerce, consumer terlebih dahulu dapat melihat dan mengetahui tentang informasi komoditi yang ditawarkan oleh pihak merchant dengan melakukan browsing pada website yang telah disediakan merchant. Setelah memilih jenis barang tertentu yang diinginkan, maka akan dijumpai keterangan lebih jelas mengenai barang yang dipilih itu, antara lain terdiri dari informasi penting tentang produk tersebut (seperti harga dan gambar barang tersebut), nilai rating barang itu yang diperoleh dari poll otomatis tentang barang itu yang diisi oleh para pembeli sebelumnya (apakah barang tersebut baik, cukup baik, atau bahkan mengecewakan), spesifikasi (product review) tentang barang tersebut, dan menu produk-produk lain yang berhubungan. Hal ini menjelaskan komoditi yang dijadikan sebagai obyek transaksi dalam transaksi e-commerce sesuai dengan ketentuan transaksi as-salam bahwa komoditi dapat diketahui dan bisa diidentifikasi secara jelas.

Selanjutnya dalam ketentuan transaksi as-salam, komoditi yang dijadikan sebagai salah satu obyek transaksi harus berada dalam tanggungan dan diakui sebagai utang, walaupun tidak harus berada pada penjual pada saat transaksi berlangsung, tetapi harus ada pada waktu yang ditentukan. Pada transaksi e-commerce, walaupun tidak dapat diidentifikasi secara pasti tapi paling tidak, sertifikat digital yang diberikan oleh CA kepada merchant website dapat dijadikan jaminan bahwa ia telah diakui sebagai "pedagang" di dunia maya dan memiliki komoditi untuk diperdagangkan/mampu melakukan pemenuhan prestasi sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Selain itu juga pihak merchant menyediakan pelayanan kepada setiap consumer untuk menyampaikan keluhan ataupun pertanyaan melalui consumer support yang dapat diakses setiap saat baik melalui e-mail, telepon dan sebagainya.

Untuk komoditi non-digital sebelum transaksi berlangsung telah disepakati mengenai batas waktu untuk penyerahan komoditi. Consumer dapat menentukan batas waktu pengiriman yang diinginkan seperti yang telah disediakan oleh merchant dalam bentuk form yang harus diisi oleh consumer. Setelah mengisi form tersebut pihak merchant akan mengkalkulasikan jumlah komoditi sekaligus harga dan biaya pengiriman yang harus dibayar oleh consumer. Dari sini terlihat bahwa penangguhan penyerahan komoditi dalam transaksi e-commerce dapat diketahui dan jelas serta ditentukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yang bertransaksi sesuai dengan ketentuan dalam transaksi as-salam.

Transaksi e-Commerce di Indonesia

Internet telah tumbuh dengan sangat cepat tidak hanya di negara-negara maju tapi juga di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2002 pengguna jasa internet di Indonesia mencapai angka 4,5 juta dan diperkirakan akan terus meningkat.[29] Hal ini membuka potensi dan peluang untuk mengembangkan bisnis melalui internet khususnya e-commerce yang telah diprediksikan sebagai "bisnis besar masa depan" (the next big thing).[30] Perkembangan internet yang kemudian memunculkan e-commerce merupakan alternatif bisnis yang cukup menjanjikan, karena e-commerce dipandang memiliki banyak kemudahan bagi kedua belah pihak, baik merchant maupun buyer. Berdasarkan perkembangan di negara-negara besar, e-commerce ini menjadi basis menuju bisnis era baru termasuk di Indonesia.

Keberadaan e-commerce di Indonesia dipelopori oleh sebuah toko buku online yaitu Sanur.[31] Ide pertama kali munculnya bisnis e-commerce berupa toko buku online ini, diilhami adanya jenis bisnis serupa, yaitu Amazon.[32] Sanur merupakan toko buku pertama di Indonesia yang menjual buku melalui internet. Kemudian muncul berikutnya Indonesia Interactive.[33] I-2 dibangun sebagai portal dan menyediakan sebuah virtual shopping mall. I-2 saat ini sudah berkembang dan memiliki beberapa online store, yang menjual buku, komputer, dan lainnya.[34]

Perkembangan e-commerce di Indonesia masih terhambat oleh beberapa faktor yang ada. Diantaranya adalah faktor jaminan keamanan. Sebuah survey mendapatkan hasil terhadap user Indonesia menunjukkan bahwa pikiran utama yang masih tertanam dibenak mereka untuk melakukan transaksi di internet adalah mengenai masalah keamanan dalam pembayaran. Dan juga di Indonesia budaya penggunaan kartu kredit masih sedikit dan masih merupakan barang langka dan simbol status, karena itu banyak situs e-commerce di Indonesia yang selain menawarkan cara pembayaran online dengan kartu kredit/debit juga menawarkan cara pembayaran lain, seperti cash on delivery. Atau dapat juga halaman website hanya menawarkan jenis produk yang akan dijual sedangkan transaksi dan pembayaran dilakukan secara offline atau kontak via telepon seperti dalam transaksi jual beli biasa.[35]

Secara umum mekanisme transaksi e-commerce yang ada di Indonesia dapat dikategorikan kepada transaksi dan pembayaran dilakukan secara online, transaksi secara online dan pembayaran dilakukan setelah barang diterima, dan transaksi dan pembayaran dilakukan di dunia nyata.

Dengan demikian, dalam e-commerce di Indonesia transaksi yang diterapkan bukan hanya transaksi as-salam tapi juga diterapkan transaksi jual beli biasa dan transaksi al-istis}nâ‘. Jika transaksi dan pembayaran dilakukan segera secara online dan melibatkan komoditi non-digital yang legal diperdagangkan menurut Islam maka pada dasarnya sama dengan transaksi as-salam. Namun jika komoditi yang diperdagangkan adalah komoditi digital pada dasarnya sama dengan jual beli biasa karena komoditi dapat langsung diterima melalui internet oleh consumer. Pada mekanisme transaksi dan pembayaran dilakukan secara offline di dunia nyata, yaitu dengan menjadikan halaman website hanya untuk menawarkan jenis dan katalog produk yang akan dijual, hal ini sama seperti pada jual beli biasa. Sedangkan dalam mekanisme transaksi online dengan sistem pembayaran cash on delivery dapat dikategorikan ke dalam transaksi al-istis}nâ‘.

Penutup

Transaksi yang dilakukan dalam e-commerce melalui internet pada dasarnya tidak memiliki perbedaan dengan transaksi as-salam kecuali pada komoditi yang dijadikan sebagai obyek transaksi. Dan juga transaksi e-commerce dapat dibolehkan menurut Islam berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam perdagangan menurut Islam, khususnya dianalogikan dengan prinsip transaksi as-salam, kecuali pada komoditi yang tidak dibenarkan untuk diperdagangkan secara Islam. Dalam transaksi e-commerce, komoditi yang dijadikan sebagai obyek transaksi dapat berupa apa saja, baik itu komoditi yang legal diperjualbelikan menurut Islam ataupun komoditi yang illegal, seperti minuman keras. Berbeda halnya dalam transaksi as-salam yang memberlakukan ketentuan bahwa komoditi yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi harus komoditi yang dibenarkan oleh Islam untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, untuk komoditi yang illegal diperdagangkan menurut Islam tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam transaksi as-salam. Selanjutnya, komoditi tersebut dalam transaksi e-commerce dapat berupa komoditi digital dan non-digital. Untuk komoditi digital yang diperdagangkan dalam transaksi e-commerce tidak termasuk dalam ketentuan yang ada dalam transaksi as-salam karena dalam transaksi as-salam, komoditi harus ditangguhkan penyerahannya sampai batas waktu tertentu. Sedangkan dalam transaksi e-commerce, untuk komoditi digital diserahkan langsung melalui internet kepada consumer. Hal ini tidak sama dengan transaksi as-salam tapi sama seperti transaksi jual beli biasa.

Dalam transaksi e-commerce melalui internet peranan infrastruktur pendukung sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan di antara pihak-pihak yang bertransaksi. Karena itu bagi para pelaku bisnis e-commerce hendaknya memperhatikan keamanan dalam transaksi, teknologi yang digunakan dan harus selalu diperbaharui dengan mengikuti perkembangan teknologi, memberikan pelayanan sebaik mungkin pada konsumen dan memperhatikan aspek hukum dan aspek moral dalam masalah transaksi. Bagi para consumer sebelum melakukan transaksi e-commerce melalui internet hendaknya berhati-hati dalam melakukan transaksi, seperti dengan mengecek sistem keamanan yang dimiliki oleh merchant, memiliki wawasan dan pengetahuan tentang komoditi yang dijadikan obyek transaksi agar tidak membeli komoditi yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada, dan juga mengecek dengan jelas mengenai tanggal pengiriman dan tempat penyerahan komoditi agar perselisihan dapat dihindari. Akhirnya, dengan ini diharapkan dapat memberikan peluang baru dalam kegiatan bisnis modern yang Islami.






[1] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Teknologi, cet. 1 (Yogyakarta: Andi, 1996), hal. ii.

[2] Alvin Toffler, The Third Wave, (Toronto: Bantam Books, 1982), hal. 155-204.

[3] Internet (International Network) adalah sebuah jaringan komputer yang sangat besar terdiri dari jaringan-jaringan kecil yang saling terhubung yang menjangkau seluruh dunia. Di Indonesia, jaringan internet mulai dikembangkan pada tahun 1983 di Universitas Indonesia, yakni UINet oleh Dr. Joseph F. P. Luhukay yang ketika itu baru saja menamatkan program doktor Filosofi Ilmu Komputer di Amerika Serikat. Lihat Budi Sutedjo Dharma Oetomo, Perspektif e-Business: Tinjauan Teknis, Manajerial dan Strategi, (Yogyakarta: Andi, 2001), hal. 10.

[4] Tri Kuntoro Priyambodo, "Menjadi Entrepreneur dari e-Commerce", makalah disampaikan pada Road Show Seminar Sukses Bisnis Melalui e-Commerce, diselenggarakan oleh Kanwil Deperindag DIY, Yogyakarta, 23 Maret 2000, hal. 1.

[5] Hata, "Beberapa Aspek Pengaturan International e-Commerce serta Dampaknya Bagi Hukum Nasional", makalah disampaikan pada Seminar Nasional Cyberlaw, diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Bandung, 9 April 2001, hal. 1.

[6] Ekonomi digital didefinisikan Amir Hartman sebagai "the virtual arena in which business actually is conducted, value is created and exchanged, transactions occur, and one-to-one relationship mature by using any internet initiative as medium of exchange." Lihat Richardus Eko Indrajit, E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2001), hal. 33.

[7] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0007/05/ekonomi/volu28.htm accessed Juni 16, 2003.

[8] Farizal F. Kamal, Cyberbusiness, cet. 3 (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999), hal. 1.

[9] Amir Effendi Siregar, "Gus Dur, Perdagangan dan e-Commerce", Warta Ekonomi, No. 29, Th. XI (6 Desember, 1999), hal. 50.

[10] Atip Latifulhayat, "Perlindungan Data Pribadi dalam Perdagangan Secara Elektronik (e-Commerce)", Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 18 (Maret, 2002), hal. 23.

[11] Freddy Haris, Aspek Hukum Transaksi Secara Elektronik Di Pasar Modal, (Jakarta: tnp, 2000), hal. 7.

[12] http://www.kompas.com/kcm/news/0002/17/artikel%5F1.htm accessed Juni 16, 2003.

[13] Lihat Soon-Yong Choi dkk, The Economics of Electronic Commerce, (Indiana: Macmillan Technical Publishing, 1997), hal. 13; David Kosiur, Understanding Electronic Commerce, (Washington: Microsoft Press, 1997), hal. 2-4; Onno W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenal e-Commerce, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2001), hal. 1-2; ECEG-Australia dalam http://www.law.gov.au/aghome/advisory/eceg/single.htm accessed Mei 30, 2003; Julian Ding, E-Commerce: Law and Office, (Malaysia: Sweet and Maxwell Asia, 1999), hal. 25.

[14] Panggih P. Dwi Atmojo, Internet Untuk Bisnis I, (Jogjakarta: Dirkomnet Training, 2002), hal. 6.

[15] Arena transaksi yang terbentuk karena adanya jaringan internet.

[16] Indrajit, Op Cit., hal. 7-8.

[17] Fathurrahman Djamil, "Hukum Perjanjian Syariah", dalam Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, cet. 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 252.

[18] Muh}ammad Taufîq Ramad}ân al-B?SPAN >t}? Al-Buyû‘ asy-Syâ’i‘ah, cet. 1 (Beirût: Dâr al-Fikr, 1998), hal. 140 dan 166.

[19] S. M. Hasanuz Zaman, "Bay?Salam: Principles and Their Practical Applications", dalam Sheikh Ghazali Sheikh Abod dkk (Ed.), An Introduction to Islamic Finance, (Kuala Lumpur: Quill Publishers, 1992), hal. 225.

[20] Hamzah Ya'qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), cet. 1 (Bandung: Diponegoro, 1984), hal. 234-235.

[21] Al-Qurt}ub? mengutip perkataan Ibn ‘Abbâs, menjelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan as-salam. Al-Qurt}ub? Al-Jâmi?li’ah{kâm al-Qur’ân, cet. 2 (Kairo: Dâr asy-Sya‘b, 1372H), III : 377; Lihat juga Muh}ammad ibn Idrîs asy-Syâfi‘î, Al-Um, cet. 2 (Beirût: Dâr al-Ma‘rifah, 1393H), III : 93-94.

[22] Al-Baqarah (2) : 282.

[23] Al-Bukhâr? S{ah{îh{ al-Bukhâr? cet. 3 (Beirût: Dâr Ibn Kas\îr, 1987), II : 781; Imam Muslim, S{ah{îh{ Muslim, (Beirût: Dâr Ih}y?at-Turâs\ al-‘Arab? t.t.), III : 1226-1227.

[24] Lihat Muhammad Aulia Adnan, Aspek Hukum Protokol Pembayaran Visa/MasterCard Secure Electronic Transaction (SET), Skripsi, (Depok: Universitas Indonesia, 1999), hal. 54. http://www.geocities.com/amwibowo/resource.html accessed Mei 30, 2003.

[25] Lihat Al-Baqarah (2) : 282.

[26] M. Sanusi Arsyad, "Transaksi Bisnis dalam Electronic Commerce (e-Commerce): Studi Tentang Permasalahan-Permasalahan Hukum dan Solusinya", Tesis Magister, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2000, hal. 53-dst.

[27] Walaupun internet diasosiasikan sebagai media tanpa batas, tapi secara logika, seperti yang dikemukakan oleh Onno W. Purbo, hati nurani kita menjawab pasti ada sesuatu yang akan membatasi interaksi dalam dunia maya ini. Kemudian Onno mengemukakan 4 hal utama yang menjadi komponen utama dari pembatas dunia maya, yaitu: pertama, hukum/perundangan; kedua, norma; ketiga, kondisi pasar; keempat, arsitektur dari platform tempat masyarakat berinteraksi. Lebih lanjut lihat Onno W. Purbo, "Cyberlaw: Filosofi "Hukum" di Dunia Maya", makalah disampaikan pada Seminar Nasional Cyberlaw, diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Bandung, 9 April 2001, hal. 1-dst.

[28] Sebagai contoh lihat http://www.cawineclub.com accessed September 30, 2003.

[29] http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php?lang=ind accessed Juni 16, 2003.

[30] Jay MS, “Peranan e-Commerce dalam Sektor Ekonomi & Industry?/I>, makalah disampaikan pada Seminar Sehari Aplikasi Internet di Era Millenium Ketiga, Jakarta, 2000, hal. 3.

[31] http://www.sanur.co.id

[32] http://www.amazon.com

[33] http://www.i-2.co.id

[34] Tim Litbang Wahana Komputer, Apa dan Bagaimana e-Commerce., hal. 20.

[35] Ibid., hal. 22.


0 komentar:

Posting Komentar

Template Design by SkinCorner from Jack Book